Masjid Sultan Ahmat merupakan kawasan paling ramai di antara bangunan tua lain.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kebesaran Negara Turki memang tak lepas dari kekuasaan Kesultanan Usmaniyah atau Kesultanan Turki. Ada pula yang menyebut Kesultanan Turki Usmani. Nama resminya adalah Negara Agung Usmaniyah. Negara-negara Barat menyebutnya sebagai Kekaisaran Usmaniyah atau Ottoman.
Awal mula kesultanan ini berasal dari Kekaisaran Turki yang didirikan oleh Usman Bey dari suku Turki pada 1299. Ibu kotanya pun berpindah-pindah, mulai dari Sogut, Bursa, Adrianopel, hingga Konstantinopel. Nama Konstantinopel kemudian berubah menjadi Istanbul.
Perpindahan ibu kota terjadi setelah Kaisar Mahmud II mampu menaklukkan Konstantinopel pada 1453. Sejak itu pula nama kekaisaran berubah menjadi kesultanan. Wilayah kekuasaan Kesultanan Turki Usmani terus berkembang.
Puncak kejayaan terjadi pada masa pemerintahan Sultan Sulaiman Agung pada abad 16 dan 17. Mereka menjadi negara terkuat dunia. Cakupan wilayahnya meliputi Eropa (Albania, Azerbaijan, Bosnia-Herzegovina, Bulgaria, Kroasia, Siprus, Yunani, Eritrea, Georgia, Kosovo, Yunani, Rusia, Rumania, Montenegro, Slovenia, Serbia, Ukraina, Slovenia, Moldova, dan sebagian Spanyol), Afrika (Libya, Sudan, Tunisia, Aljazair, Somalia, Mesir, dan lain-lain), serta Asia (Yaman, Irakiran, Palestina, Saudi Arabia, Kuwait, Bahrain, Suriah, Oman, Qatar, Lebanon, dan lain-lain termasuk Indonesia). Mereka menguasai hampir sepertiga dunia.
Wilayah Turki mulai berkurang saat Perang Rusia pada 1877-1878. Perang itu dimenangkan oleh Rusia dan negara ini melepaskan diri dari kekuasaan Turki Usmani. Koalisi Katholik yang dipimpin Philip II juga mampu memukul mundur pasukan Turki Usmani saat bertempur di Lepanto di Laut Mediterania. Bahkan pasukan Malta pun mampu mengusir bala tentara Turki Usmani. Namun Kesultanan Turki Usmani mampu memulihkan keadaan dan memaksa pasukan Venesia mengadakan perjanjian damai.
Dalam perang Turki-Austria, beberapa wilayah Turki harus dikembalikan ke Austria, termasuk Serbia. Turki pun harus menadatangani perjanjian untuk tidak melakukan ekspansi lagi ke Eropa pada 1739.
Kondisi di dalam negeri Turki juga bergolak. Pada 1914, Gerakan Nasional Turki yang dipimpin Mustafa Kemal Pasha atau Mustafa Kemal Ataturk menang dalam perang kemerdekaan. Kemal Ataturk lalu membubarkan kesultanan (pada 1 November 1922) dan sultan terakhir Mahmud VI pun meninggalkan negaranya. Republik Turki lalu berdiri pada 29 Oktober 1923 dengan Presiden Kemal Ataturk.
Kekhalifahan pun lalu dibubarkan pada 3 Maret 1924. Sejak itu pula ibu kota Turki berpindah ke Ankara. Kehidupan agamis rakyat Turki juga berubah menjadi sekuler, yakni memisahkan urusan agama dan masalah kenegaraan.
Meski ibu kota Turki ada di Ankara, Istanbul sampai kini tetap menjadi kota/provinsi terbesar dengan penduduk sekitar 22 juta orang. Jejak sejarah kebesaran Turki pun tetap kokoh berdiri di Istanbul, termasuk monumen keagamaan yang memperlihatkan kemajuan negeri itu pada zaman dulu.
Republika.co.id bersama beberapa awak media televisi dalam negeri mendapat undangan maskapai Turkish Airlines untuk melihat beberapa jejak keislaman di Turki.
Masjid Sulaiman
Sesuai namanya, masjid ini merupakan persembahan Sultan Agung Sulaiman. Dibangun pada tahun 1550, masjid yang diarsiteki Mimar Sinan ini selesai pada 1557. Letak masjid berada di pinggir Laut Marmara yang merupakan pintu gerbang menuju Selat Bosphorus.
Di area masjid yang luasnya sekitar 4.284 m2 itu, selain kubah utama, juga terdapat empat menara. Tinggi kubah sekitar 53 m. Ruang utama dalam masjid mampu menampung sekitar 5.000 jamaah. Di luar masih ada ruang terbuka yang dikelilingi dinding kokoh. Dinding tembok juga mengelilingi bangunan masjid.
Ruang terbuka ini masih dapat menampung sekitar 1.000 jamaah. Ada pula dua bangunan yang sedikit terpisah dari masjid dan merupakan makam sultan dan istrinya. Makam ini pun hasil karya arsitek Mimar Sinan. Sultan wafat pada usia 71 tahun.
Masjid ini tergolong modern saat itu. Di kawasan kompleks masjid itu terdapat sekolah dasar dan madrasah. Sekolah itu sebagian digunakan sebagai Perpustakaan Sulaiman. Ada pula sekolah medis (kedokteran) yang sekarang telah berubah fungsi menjadi apotek. Di depan apotek itu terdapat kantor percetakan militer.
Dinding bangunan dalam masjid begitu kokoh dilapisi marmer. Di sepanjang dinding balkon bagian dalam dikelilingi lampu kecil yang jumlahnya ribuan. Di tengah-tengah ruang jamaah ada lampu gantung melingkar yang jumlahnya mencapai ratusan lampu kecil. Lampu gantung itu terdiri atas tiga lapis lingkaran.
Masjid itu juga dirancang untuk terbuka terhadap sinar matahari dari luar. Ada jendela ditutup kaca cerah kecil sebanyak 138 buah yang memungkinkan sinar matahari masuk ke ruang utama masjid. Sedangkan mihrab (tempat imam memimpin shalat) dindingnya dihiasi rona biru. Selain dari sekitar Istanbul, marmer bahan material untuk mihrab diambilkan dari Alexandria, Mesir.
Masjid Sultan Ahmat
Sultan Ahmat I dikenal amat religius. Sikap religius itu pula yang membuat sultan ingin membangun masjid yang fungsinya bisa menggantikan Ayasofya (Haga Sophia), bekas gereja yang saat itu berfungsi sebagai masjid. Sultan lalu memerintah arsitek Mehmed Aga untuk membuat rancang bangun masjid.
Dimulai 1609, masjid itu selesai dibangun pada 1617. Dalam kompleks masjid itu ada rumah kecil untuk sultan. Ada pula madrasah, serta beberapa kios bertingkat untuk toko buku/perpustakaan. Kondisi di dalam ruang utama masjid ini hampir sama dengan Masjid Sulaiman.
Masjid Sultan Ahmat memliki enam menara. Empat menara masing-masing memiliki tiga balkon. Dua menara lainnya masing-masing memiliki dua balkon. Total seluruhnya ada 16 balkon. Di dalam masjid juga ada kaligrafi karya Ametli Kasim Gubari.
Menempati lahan 4.608 m2, lokasi masjid persis menghadap Ayasofya. Jumlah jendela kecil yang mengelilingi masjid ini lebih banyak dari Masjid Sulaiman, yakni sebanyak 260. Menurut catatan sejarah, seluruhnya ada 21.043 keramik untuk interior masjid tersebut.
Selain dikelilingi taman, di depan masjid itu juga dipasang beberapa bangku yang biasa menjadi tempat duduk-duduk bagi para turis. Ada pula koridor di kompleks Masjid Sultan Ahmat yang sering menjadi tempat atau arena bazar. Tak jauh dari kompleks masjid, ada pula arena bazar besar yang mampu menampung 4.400 kios dengan aneka barang dagangan.
Sultan Ahmat I yang wafat tahun 1617 dimakamkan di kompleks masjid. Makam itu juga menjadi kompleks kuburan bagi anak dan kerabat Sultan Ahmat I. Posisi makam bersebelahan dengan madrasah yang berada di ujung depan arena luar masjid.
Hingga saat ini, kompleks Masjid Sultan Ahmat merupakan kawasan paling ramai di antara bangunan tua lain di Istanbul. Di kawasan ini juga (Sultan Ahmat Square) menjadi lokasi favorit umat Islam untuk ngabuburit beramai-ramai hingga ribuan orang. Khusus bagian dalam masjid, saat ini masih dalam renovasi.
Komentar
Posting Komentar