MEMBACA
MENANGKAP MAKNA
Ali Usman
Membaca
adalah suatu proses yang dilakukan serta digunakan oleh pembaca untuk
memperoleh pesan yang disampaikan penulis melalui media bahasa tulis (Tarigan,
1984:7). Dengan membaca, seseorang secara tidak langsung sudah mengumpulkan
kata demi kata dalam mengaitkan maksud dan arah bacaannya yang pada akhirnya
pembaca dapat menangkap makna dengan nalar yang dimilikinya.
Indonesia adalah negara
yang jumlah penduduk muslimnya paling besar di dunia. Dari sekitar 254,9 juta
orang penduduk (Susenas BPS 2014-2015), diperkirakan sekitar 80 persen adalah
muslim, dan sisanya adalah non-muslim.
Idealnya, Indonesia harus menjadi negara yang mempelopori bahkan menjadi basis
gerakan literasi di dunia, mengingat wahyu pertama yang diturunkan kepada
Rasulullah Muhammad saw adalah Q.S
Al-‘Alaq (Iqra’) sebagai simbol perintah
membaca yang merupakan salah satu bentuk kemampuan literasi dasar, tetapi pada
kenyataannya, justru negara-negara yang mayoritas berpenduduk non-muslim yang memiliki tingkat
literasi yang tinggi
Organisasi Pendidikan, Ilmu
Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO 2012) mencatat
indeks minat baca di Indonesia baru mencapai 0,001. Itu artinya, pada setiap
1.000 orang hanya ada satu orang yang punya minat membaca. Masyarakat di
Indonesia rata-rata membaca nol sampai satu buku per tahun. Tidak usah
dibandingkan dengan Jepang dan Amerika yang rata-rata membaca 10-20 buku
pertahun. Jika dibandingkan dengan negara-negara di kawasan ASEAN, yang membaca
2-3 buku per tahun, kita pun masih sangat ketinggalan. (Kompas, 22/02/2016).
Hal
tersebut perlu menjadi bahan bahan evaluasi sekaligus bahan refleksi bagi umat
Islam di Indonesia, hal apa yang menyebabkan umat Islam justru kualitas
literasinya kalah dengan bangsa lain yang mayoritas non-muslim. Ketika masyarakat Jepang lebih senang membaca buku
ketika menunggu kereta di stasiun, maka banyak masyarakat Indonesia yang lebih
asyik memainkan gadget¸ online, atau chatting, walau mungkin saja ada
diantaranya yang membaca e-book atau
berita dari media online.
Secara
bahasa, kata iqra di surat Al-‘Alaq [96], berasal dari akar kata qara’a, yang dimaknai sebagai kegiatan
menghimpun, menyampaikan, menelaah, meneliti, mendalami, mengetahui ciri
sesuatu dan membaca (Membumikan Alquran, 2002). Ulama menafsirkannya untuk teks
tertulis dan tidak tertulis. Kata ini diulang hingga dua kali yang menandakan
Allah yang Maha Rahim telah memberikan kunci bahwa membaca merupakan
keniscayaan bila ingin survive
(bertahan) menjalani liku kehidupan.
Membaca
adalah solusi cerdas, perintah mulia agar manusia memperoleh ilmu yang menjadi
penerang dalam membedakan haq dan bathil. Berulang kali dalam alquran,
Allah mengingatkan bahwa tidaklah sama antara orang yang mengetahui dengan yang
tidak. Allah juga menjanjikan kedudukan mulia kepada orang-orang berilmu,
setara dengan orang-orang beriman (Q.S Al-Mujadilah [58]: 11). Membaca yang
dimaksud, tentunya tidak hanya tekstual. Makna membaca dapat juga berupa
kebiasan berpikir mendalam, merenung atau mentafakuri ayat-ayat alam (qauniyah). Semuanya itu, baik membaca
secara tekstual maupun dalam bentuk tafakur atas realita yang terjadi,
hendaknya mengarah pada satu tujuan. Yaitu makin mendekatkan kita kepada Allah.
Itulah sebabnya, kita dianjurkan untuk berlindung dari ilmu dan amal yang
menjauhkan dari ridha dan cinta Allah.
Membaca
membuat manusia makin mengenal siapa dirinya. Ingatkah ungkapan yang
menyebutkan bahwa barang siapa mengenal dirinya, ia akan pula mengenal
Tuhannya? Disinilah budaya membaca menemukan konteks atas ungkapan tersebut.
Karena sungguh merugi bila seseorang merasa tahu akan sesuatu padahal
sebenarnya ia tidak tahu apa-apa. Dengan membaca, hal itu bisa dihindarkan.
Alih-alih merasa diri pintar, justru dengan banyak membaca, ia sadar bahwa
dirinya bukanlah apa-apa. Masih teramat luas samudra keilmuan yang mesti
diarungi dan dipahami.
Dari
pemikiran ini, lahir tokoh-tokoh besar seperti al-Ghazali, Sayyid Quthb, Yusuf
al-Qardhawi, atau di Indonesia kita kenal Buya Hamka dan lain-lain. Dari pena
mereka, beragam jenis kitab-kitab tafsir, fikih, hadits, telah ditulis. Hingga
sekarang kita tetap dapat menikmati keluasan ilmu mereka. Tentu dengan membaca
dan mempelajarinya. Meneruskan tradisi mereka yang kental dengan budaya
membaca.
Membaca
juga dapat memperkaya wawasan. Berjenis buku yang dilahap mengajak kita
melanglang buana ke seluruh dunia, ke semua peradaban, kembali ke masa lalu
atau berkelana ke masa depan. Kita pun bisa menelusuri jejak Rasulullah
Muhammad saw, bersua dengan tokoh-tokoh inspiratif yang mengubah dunia, atau
bermain dengan sosok rekaan di alam yang juga imajiner. Membaca menghadirkan
dunia kecil, bisa dikunjungi setiap saat, tanpa batas dan tanpa syarat!
Selain
itu, meminjam istilah Hernowo, penulis buku-buku kepiawaian menulis dan
membaca, kebiasan membaca layaknya menjadikan buku sebagai makanan bergizi.
Sebagai menu empat sehat lima sempurna, gizi sebuah buku terletak pada susunan
kata yang mampu merangsang pikiran untuk bergerak (Mengikat Makna, 2001).
Bacaan yang baik akan membuat pembacanya menjadi kritis, tergugah empatinya,
dan terinspirasi melakukan suatu tindakan yang diperoleh dari bacaan tersebut. Agar
efektif dan optimal, proses membaca harus disertai kegiatan menulis. Imam Ali
bin Abi Thalib ra, pernah berkata agar mengikat ilmu dengan menuliskannya.
Boleh jadi, upaya menulis inilah yang kerap terlupakan oleh kita. Dan karena
menulis adalah keterampilan, ia harus dibiasakan dan diasah setiap saat.
Modalnya, tentu dengan banyak membaca.
Maka,
jika ingin hidup ‘lebih bermakna’ dengan ilmu, biasakan membaca. Setiap hari,
sisihkan waktu yang dikaruniakan Allah untuk mencerdaskan pikiran. Jangan hanya
menonton televisi atau kegiatan sejenis yang jauh dari manfaat. Karena dengan
cara apa kita memilih jalan yang lurus bila untuk membaca dan diikat dengan
menulis, kita merasa enggan? Hidupkan budaya membaca agar peradaban Islam
kembali jaya. Bismillah, semoga Allah yang Maha Mengajarkan manusia, senantiasa
menuntun dari ilmu dan amal yang menyesatkan. Amin.
PROFIL PENULIS
Saya
Ali Usman, S.S., M.Pd.
Lahir di Padang, 25 Februari 1982. Memiliki satu istri (Gusmardina, S.PdI.) dan
tiga orang mujahid dan mujahidah. Mujahidah pertama Alhimmatul 'Aliyah Radhwa.
Mujahid kedua Abdullah Hazim, dan Mujahidah ketiga Huriyah Sakhia. Sehari-hari
bertugas sebagai Guru
Bahasa Indonesia di SMP Perguruan Islam Ar Risalah (Islamic
Boarding School) Kota Padang Sumatera Barat. Alamat email : ali.usman252@gmail.com. Nomor
HP/WA/Telegram : 081363046547.
Boleh juga ikuti saya di Facebook Ali Usman.
Komentar
Posting Komentar