MEMBAYAR UTANG TULISAN

Oleh MUCH. KHOIRI
(Dosen Unesa dan penulis buku "SOS Menulis dalam Kesibukan", 2016)

Utang tulisan yang harus saya bayar cukup banyak hari-hari ini. Dalam setiap waktu luang saya berniat kuat harus membayarnya. Ini sedang saya tunaikan sekarang, tanpa ditunda-tunda. Mau kapan lagi?

Mengapa utang tulisan dan mengapa saya harus segera membayarnya? Bukankah ini masih suasana liburan yang sepatutnya waktu diberikan untuk keluarga dan  handai taulan?

Utang uang dibayar dengan uang, utang tulisan harus dibayar dengan tulisan. Utang pada siapa? Utang pada diri sendiri. Ya, saya berutang beberapa tulisan pada diri sendiri karena kemarin-kemarin saya tidak sempat menulis tulisan pada waktu yang seharusnya. Waktu dan tenaga habis untuk kegiatan kerja, urusan dengan mitra, dan kebersamaan dengan keluarga.

Memang saya telah berkomitmen menulis setiap hari dalam 3 tahun terakhir ini. Jika sehari saja saya tidak menulis, karena alasan sangat kuat, maka itu jadi utang yang harus saya bayar esoknya atau lusanya. Jika 3 hari saya tidak menulis, maka pada hari ke-4 saya harus menulis 4 artikel sekaligus. Begitu seterusnya.

Dua hari ini, misalnya, saya tidak bisa menulis karena menyambut Iedul Adha, hari yang diagungkan seluruh ummat Islam. Saya juga "meliburkan" diri dari profesi tambahan saya sebagai penulis. Saya lebih menikmati suasana hari raya besar yang penuh hikmah. Sekali tempo saya memanjakan diri di dalam suasana yang penuh gema takbir, tasbih, dan tahmid. Istighfar juga teramat nikmat rasanya.

Maka, dua hari ini saya punya utang dua buah artikel, kali ini bagian dari sebuah buku yang sedang saya susun. Maka, esok pkl 03.00 dini hari saya harus membayar 3 artikel; yang mungkin saya sentuh hingga 05.30-an. Dalam 3 jam harus beres 3 artikel. Jika bisa 4 artikel bolehlah, agar jadi "tabungan" untuk membayar utang artikel hari selanjutnya.

Di samping itu, setelah saya cermati, ternyata, saya masih punya utang beberapa paper (makalah) untuk seminar--ada 5 buah yang ditunggu deadline. Ini karena dalam sebulan terakhir, selain tugas rutin menjadi dosen, saya (sebagai Kepala Pusat Bahasa Unesa) banyak mengurus kegiatan yang cukup melelahkan: pelatihan bahasa Inggris IELTS Preparation Camp 2016 bagi 125 dosen Unesa yang akan studi lanjut S3.

Belum lagi kewajiban saya menyetor tulisan ke sejumlah grup menulis, semisal Sahabat Pena Nusantara (SPN), Penulis Alumni B Inggis, dan sebagainya. Kesibukan demi kesibukan seakan memenjara saya. Namun, begitulah, hidup memang harus sibuk. Tanpa kesibukan, manusia hanya subjek yang kehilangan makna kontekstualitasnya.

Maka, tidak ada pilihan: saya harus segera membayarnya. Kerja keras dan cerdas. Mengapa harus sekarang? Saya yakin, hari-hari ke depan saya tidaklah kosong alias menganggur, melainkan ditunggu sederet kesibukan yang juga harus dipuaskan, termasuk deretan inspirasi menulis yang juga harus dituangkan. "Sekarang atau tidak sama sekali!" teriak saya dalam hati.

Segala sesuatu ada haknya. Tugas ada haknya, berupa kewajiban untuk menunaikannya. Utang juga ada haknya, berupa kewajiban untuk membayarnya. Maka, saya harus membayar utang tulisan segera, agar hubungan hak dan kewajiban di sini mencapai keseimbangan. Bukankah hidup ini mesti berada dalam keseimbangan yang purna?

Ini memang masih suasana hari raya. Namun, utang tidaklah mengenal hari raya atau hari biasa. Utang tetaplah utang pada tataran syar'i. Utang wajib dibayar, termasuk utang pada diri sendiri. Jika tidak terbayar, saya akan menanggung "dosa" yang berat. Maka, tiada pilihan lagi, saya harus memaksa diri untuk membayar utang pada diri sendiri ini.

Justru saya terus belajar mendidik diri, bahwa membayar utang pada diri sendiri itu sejatinya lebih berat dari pada menbayar utang pada orang lain. Utang semacam ini sering diabaikan orang, seakan dia tak merasa berutang, padahal utangnya banyak. Mendidik diri membayar utang pada diri sendiri juga harus saya kembangkan dan biasakan. Di sana akan ada kenikmatan tersembunyi.

Komentar