GURU sebagai Pilar Peradaban
Oleh Satria Hadi Lubis
Konon, ketika kota Hirosima dan Nagasaki dibom oleh sekutu, ungkapan yang pertama kali terlontar dari mulut seorang Kaisar Jepang adalah, “Berapa banyak guru yang masih tersisa?”. Sebuah ungkapan yang dramatis, di tengah kehancuran Jepang. Dan memang, beberapa tahun kemudian terbukti, Jepang mampu membangun bangsanya dengan ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu pesat. Ini adalah sebuah ibarat bagi kita semua, betapa kecintaan pada pendidikan merupakan kunci kesuksesan sebuah bangsa. Betapa guru dianggap sebagai pilar kebangkitan peradaban sebuah bangsa.
Dalam konteks kesejarahan bangsa, pendidikan juga telah terbukti menjadi pilar kebangkitan para pejuang bangsa. Di berlakukannya politik etis Hindia Belanda, yang terdiri dari edukasi, emigrasi dan irigasi – yang kemudian dikenal dengan trias politika Van Deventer - menjadi awal terbukanya cakrawala bangsa Indonesia akan ilmu pengetahuan. Sejak saat itu lahir semangat nasionalisme di antara orang-orang terpelajar bangsa Indonesia. Sehingga arah perjuangan mengalami pegeseran, dari yang bersifat frontal dan fisik kepada organisatoris dan strategis. Meskipun, kemerdekaan tidak serta merta kemudian dapat direbut, namun hal ini merupakan langkah awal perjuangan yang signifikan untuk merebut kemerdekaan.
Dua hal di atas setidaknya mampu menyadarkan kita, betapa pendidikan mempunyai peranan penting dalam rangka pembangunan peradaban sebuah bangsa. Di tengah kondisi bangsa yang terpuruk saat ini, adalah sebuah keniscayaan untuk membangun bangsa dan keluar dari keterpurukan tersebut, dimulai dari pembenahan pendidikan. Berbicara tentang pendidikan, maka tidak lepas dari sosok yang bernama guru. Guru merupakan pilar utama proses pembelajaran. Karena gurulah yang dalam tataran praktis berhadapan langsung dengan proses pembelajaran dan merupakan pelaku pembelajaran. Sehingga sering dikatakan bahwa guru merupakan learning centre (pusat pembelajaran), artinya metode, kurikulum dan media sehebat apapun, jikalau sumber daya guru,sebagai pelaksananya rendah maka semua itu akan mengalami kegagalan dalam pembelajaran.
Dari sini, membenahi sumber daya guru merupakan sebuah keniscayaan yang tak terbantahkan lagi. Jika kualitas pendidikan akan ditingkatkan, maka harus dimulai dari pembenahan sumber daya dan kompetensi guru. Pergantian kurikulum secara tidak menentu, terbukti tidak mampu memberi angin segar terhadap problematika pendidikan kita. Hal itu seringkali dikarenakan adanya latah “isu” dan adopsi sistem pendidikan dari barat. Taruhlah misalnya, KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi), merupakan hasil adopsi konsep dari Amerika yang di sana mengalami kesuksesan. Namun ketika itu diimplementasikan di Indoinesia, sudah barang tentu mengalami permasalahan tersendiri. Karena berbicara tentang pendidikan tidak lepas dari dimensi kultur, paradigma, karakter dan kepribadian bangsa. Kita seringkali tidak sabar dan latah terhadap wacana baru, yang terkadang tidak sesuai degan kepribadian dan budaya bangsa Indonesia.
Perlunya Pergesaran Paradigma
Pembenahan sumber daya guru, harus dimulai dari upaya pergeseran paradigma (shifting paradigm) tentang guru yang selama ini telah mengakar pada guru-guru kita. Adalah pandangan bahwa guru tahu segala-galanya, sedangkan peserta didik tidak tahu segala-galanya yang melahirkan mentalitas guru yang otoriter. Hal ini harus mulai diubah dengan pola yang berbeda, peserta didik diperlakukan sebagai entitas yang mempunyai potensi yang harus dikembangkan, tidak semata-mata dipaksakan.
Setiap manusia pada dasarnya mempunyai potensi yang berbeda. Potensi tersebut akan mampu berkembang ketika mendapatkan moment yang tepat. Ibarat benih, ia akan tumbuh subur ketika ditanam pada tanah yang subur dan berhumus. Namun, sebaik apapun benih, ketika harus ditanam pada kondisi tanah yang gersang dan tandus, maka sudah barang pasti benih tersebut tidak akan tumbuh. Guru, disini harus menjadi tanah subur yang akan mampu menumbuhkan potensi-potensi yang ada pada peserta didik.
Selain itu, untuk mampu meningkatkan kualitas guru, maka segala sesuatu yang berkaitan dengan kebutuhan guru harus diperhatikan. Hal ini berlaku, baik dalam konteks proses pembelajaran, maupun dalam konteks penghidupan guru. Yang pertama berorientasi pada pemenuhan kebutuhan pembelajaran, baik itu media, perangkat pembelajaran, kurikulum dan sebagainya. Sedangkan yang kedua mengacu pada kesejahteraan hidup guru. Hal ini juga penting, karena proses mengajar yang dilakukan guru, merupakan bagian dari kehidupan yang saling berjalin-berkelindan dengan bagian hidup yang lain.
Negara kita telah lama menjadikan pendidikan menjadi pondasi kekuatan bangsa. Karena sejak negara ini berdiri, pendidikan selalu menjadi perhatian utama para pemimpin negeri ini. Boleh jadi ini terjadi karena sebagian besar the founding fathers adalah orang-orang yang terdidik secara formal. Dan mereka bisa merasakan bahwa perubahan cara pandang mereka tentang bangsa dan negara adalah hasil pendidikan yang mereka lalui.
Pengalaman masa lalu tersebut, seharusnya menyadarkan kita pentingnya dunia pendidikan bagi masa depan bangsa. Saat ini, ditengah persoalan-persoalan pendidikan yang berkembang, kita mengharapkan agar pendidikan nasional kita kembali mampu memberikan semangatnya untuk bangkitnya bangsa ini. Untuk kembali menjadi bangsa dan negara yang disegani.
Dan proses tersebut di atas, yang paling mungkin dengan cara membangun dunia pendidikan kita secara modern dan berkualitas. Oleh karenanya, perlu disadari pendidikan yang maju dan kualitasnya baik, tergantung pada guru, peserta didik dan kebijakan pendidikan. Sehingga menghasung ketiganya secara sinergis adalah kebutuhan sejarah.
Dengan demikian, pendidikan yang baik adalah optimilasasi proses interaksi antara ketiga faktor tersebut. Dan yang paling dominan dari ketiga faktor tersebut adalah guru, karena merekalah yang mentransfer ilmu pengetahuan kepada siswa. Proses mencerahkan peserta didik ada pada guru. Oleh sebab itu, posisi guru sangatlah strategis.
Guru : Gagasan, Usaha, Rasa dan Utama
Dalam sebuah seminar Prof. Dr. Sunardi, M.Pd mengungkapkan bahwa guru yang ideal bisa diimplementasikan dari kepanjangan kata guru itu sendiri. Menurut beliau guru itu bermakna gagasan, usaha, rasa dan utama. Sebagai seorang guru harus dipenuhi dengan gagasan dan ide kreatif untuk menjadikan peserta didiknya lebih berkembang. Ide tersebut harus disertai dengan usaha yang maksimal untuk mewujudkannya. Ide dan usaha tersebut harus dilandasi dengan rasa atau empati sehingga ilmu yang dimiliki akan mengarah ke jalan yang positif. Kalau ketiganya sudah berjalan dengan baik maka keutamaan akan didapat.
Kaitannya dengan guru sebagai pilar peradaban, Pancasila dan Undang-undang ‘45 telah lama menyatakan bahwa mencerdaskan kehidupan bangsa adalah tugas bersama bangsa. Sedangkan dalam mencerdaskan suatu bangsa sangat tidak mungkin bisa lepas dari campur tangan sosok yang bernama guru. Dari tangan-tangan guru akan terbentuk generasi-generasi yang akan datang, baik yang sekarang masih TK sampai sekolah menengah. Oleh karena itu, seorang guru bukan hanya sekedar mencetak dan mentransfer ilmunya. Tapi bagaimana seorang guru dapat membuat siswanya lebih kreatif dan berkarakter sehingga bisa menumbuhkan peradaban yang bernilai di masa mendatang.
Saya memaknai bahwa tugas seorang guru tidak hanya formalitas mendidik dan mengajar saja. Akan tetapi lebih dari itu semua, meminjam istilah Anis Baswedan yaitu sebagai perwujudan ikut turun tangan dalam melunasi hutang kemerdekaan bangsa. Oleh karena itu, saya berani mengatakan bahwa guru adalah pilar penegak peradaban bangsa.
Sebagai bagian pilar penegak bangsa, tentunya para guru harus meningkatkan kualitasnya dalam menyikapi perkembangan dunia pendidikan. Pengabdian dan keluhuran budi juga harus ditegakkan sebagai perwujudan dari makna guru itu sendiri. Semoga keikhlasan para guru menjadi amal yang barakah dunia dan akhirat.#
Komentar
Posting Komentar