Air Mata Fitra oleh Hairul Jakarta

Air Mata Fitra

"Abi, Fitra kangen. Mau tlp." Tersentak aku membaca tiga kali sms itu masuk dalam tiga menit berurutan dan satu kali misscall dari nomor yang sama, nomor asrama tempat anakku belajar.
Aku paham untuk secepatnya mengontak nomor tersebut dan minta dipanggilkan Fitra.
"Assalamualaikum, abi sehat?" Pertanyaannya tentang kesehatanku saja sudah menggetarkan jiwaku. Fitra perhatian betul terhadapku padahal baru duduk di kelas delapan. Aku merasa tidak mendapatkan perhatian serupa dari dua kakaknya yang sudah semester delapan dan sepuluh. Apakah ini karena faktor Fitra wanita atau karena pengaruh didikan di pesantren yang terkenal dengan semboyan manajemen kalbu.
"Fitra kangen, Bi" terdengar suara lirih diselingi sesenggukan.
"Ya, abi juga kangen Fitra," jawabku sesenggukan tak kuasa menahan air mata.
Berkecamuk rasa di dadaku mendengar tangisan kangennya.
"Mudah-mudahan abi sehat terus ya," suaranya terdengar pelan nyaris tak terdengar apalagi diiringi dengan sesenggukan. Air mata kian tak dapat kubendung.  Aku merasakan anak ini sangat dekat dan perhatian terhadapku melebihi dari yang kudapatkan dari kedua kakaknya.
"Ya, Fitra juga semoga sehat, rajin belajar. Abi doakan Fitra jadi anak solihah," derai air mataku kian deras. Bukan kata-kata yang membuat makna. Tapi aku merasa kedekatan kami berdualah yang memberi makna komunikasi kami.
"Abi, doakan Fitra ya,..." suara terdengar lagi diiringi tangisan. Kata-kata kelanjutannya tak lagi jelas kudengar karena tangisan yang mengiringinyalah yang kudengar.
"Ya, Fitra. Ya," hanya kata-kata itu yang kuucapkan berulang menjawab kata-katanya yang kian tak jelas ditelingaku karena isak tangisnya gak juga reda. Akupun kian larut dalam isak tangis.
"Abi tidak ke Bandung?" tanyanya sambil masih diiringi isak tangis.
"Ya, maaf Fitra. Abi tidak bisa ke Bandung karena ada tugas tambahan di kantor Minggu ini," aku mencoba meredakan rasa kecewanya karena aku tak menjenguknya. Pekerjaan tambahan di kantor hari Minggu tak bisa kutinggal sebagai rasa tanggungjawabku untuk mempersiapkan audit besok.
"Ya, tidak apa-apa, Bi. Doakan Fitra ya. Assalamualaikum," Fitra mengakhiri telponnya. Dari suara anak-anak disekitarnya aku paham mungkin banyak teman-temannya juga yang ingin menggunakan telpon asrama ini.
"Waalaikumsalam," jawabku mengakhiri telpon.
Perbincangan dengan Fitra di telpon telah berakhir. Tapi tidak dengan isak tangis dan air mataku. Doa, perhatian dan kedekatan Fitra terhadapku menambah kenikmatan yang kurasa. Betapa tidak. Fitra mau dan betah saja di pesantren merupakan kenikmatan tersendiri buatku. Kenikmatan ini kian bertambah ketika ia menceritakan kegiatannya di pesantren. Ia sudah hapal dua juz Al Quran, salat tahajjud dan dhuha, puasa Senin Kamis dan kegiatan ibadah rutin lainnya. Aku terharu sekaligus terpacu. Anakku yang baru kelas delapan sudah banyak merutinkan sesuatu yang belum bisa kukerjakan. Kedua kakaknyapun di rumah ibadahnya sudah banyak ketinggalan darinya yang ada di pesantren.
Dhuha pagi ini adalah dhuha yang berderai air mata. Air mata Fitra.

Jkt 24012016 Hairul (Saudaraku di Menulis Untuk Ibadah/MUI)

Komentar