Mendidik dengan Hati

Mendidik dengan Hati

Oleh : Eko B Harsono - 2015-11-12 00:00:00
Sumber :   -

Siapa bilang anak tuna rungu tidak bisa berprestasi melebihi anak-anak normal? Meutia Rachma membuktikannya. Remaja kelahiran 30 Agustus 1988 ini berhasil diterima di Politeknik Universitas Indonesia dan lantas lulus memuaskan dengan IPK 3,4. Ketika sebuah perusahaan properti skala dunia menawarkan pelatihan dan rekruitmen 10 anak terbaik di Indonesia untuk bergabung lewat program hear to heart atau program mendengar dengan hati, Meutia mengikutinya dan bersaing dengan 1000 pelamar yang sebagian besar anak normal. Meutia berhasil terpilih masuk 10 besar. Kini, Meutia bekerja sebagai desain grafis di perpustakaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Ibunya, Yeni Suciani (54), menuturkan, upaya mendidik Meutia, anak pertamanya itu, merupakan perjuangan terbesarnya selama mendidik tiga anaknya.
Dituturkannya, awalnya Meutia lahir secara normal, namun ketika dia berumur 2 tahun terjatuh tanpa diketahui oleh orangtuanya. Putri pertamanya itu sewaktu kecil sangat lincah dan menyenangkan.
“Waktu itu, pembantu saya menutupi peristiwa itu. Saya baru tahu setelah sekian lama ketika dokter melihat gendang telinga anak saya sudah pecah dan dia mengalami ketulian. Hancur hati saya saat mendengar hal itu. Yang lebih saya kesal, pembantu yang menjatuhkan anak saya itu menghilang dengan alasan pulang ke kampung halamannya,” ujar Yeni.
Yeni sempat panik dan bingung bagaimana menghadapi cobaan tersebut. Dengan penuh kesebaraan, keikhlasan dan memohon pimpinan Tuhan Yang Mahaesa serta mendapat dukungan dari banyak pihak, Yeni akhirnya menerima kondisi putrinya tersebut dengan lapang dada.
Meutia lantas disekolahkan di TK Shanti Rama, sebuah sekolah khusus untuk anak berkebutuhan layanan khusus yang berlokasi di kawasan Kebayoran, Jakarta Selatan.
“Karena ingin mengetahui lebih banyak tentang pendidikan untuk anak tuna rungu, saya kerap juga ikut sekolah, mengikuti seminar dan workshop yang diselenggarakan Direktorat Pendidikan Luar Biasa (PLB) waktu itu,” katanya.
Perkembangan dan pertumbuhan anaknya membuatnya terkesima. Terutama sikap kemandirian Meutia yang dianggapnya terlalu over confidance alias terlalu percaya diri meski dia menyandang tunarungu.
“Saya ingat ketika dia masih duduk di bangku kelas dua sekolah dasar, Meutia merenggek untuk berangkat sekolah sendiri. Dia minta kepada saya agar dititipkan ke kondektur bus untuk diturunkan di sekolahnya. Kebetulan angkutan umum tersebut melintas di depan sekolah SD Shanti Rama. Awalnya saya sangat ragu-ragu, namun karena anak saya bersikeras akhirnya saya relakan juga meski dengan hati yang was-was,” katanya.
Sikap Yeni ini, lanjutnya sangat ditentang oleh teman-teman di kantornya. Namun, seiring berjalannya waktu akhirnya justru kemandirian Meutia menginspirasi anak-anak tuna rungu lain di sekolahnya.
Kelas empat SD, lanjut Yeni, Meutia sudah berani pulang sekolah sendiri ke rumahnya di kawasan Jalan Pramuka, Jakarta Pusat. Dia tidak mau lagi pulang sekolah dengan mamanya berangkat dari kantor Kemdikbud, Jl Sudirman, Jakarta Selatan.
“Suatu ketika, dia hingga jam 7 malam belum sampai ke rumah. Saya panik dan takut. Teman satu sekolahnya mengatakan sejak jam 4 dia sudah pulang. Saya bingung dan cemas saat itu. Tapi tidak lama dia muncul. Dia senyam senyum dan mengatakan mama was-was ya. Dia bilang tadi pulang sengaja tidak naik angkutan umum yang biasa, dia sengaja naik jurusan yang lain dan melihat-lihat jalan baru di Jakarta,” katanya.
Prestasi membanggakan Meutia yang membuatnya bersyukur yaitu diterima di Politeknik Negeri Universitas Indonesia. Dia kuliah dengan menggunakan alat bantu dengar plus membaca gerak bibir dosen dan temannya.
Beruntung, Meutia sangat kuat membaca dan kerap menghabiskan waktunya dengan melakukan browsing internet.
“Saya sempat minta adiknya untuk membantu Meutia, namun sang kakak lebih senang belajar mandiri. Meutia lulus dari Politeknik Universitas Indonesia dengan hasil memuaskan dengan IPK 3,4. Ini yang membuat hati saya tergetar dan bersyukur setiap saat,” katanya.
Ketika sebuah perusahaan properti dunia menawarkan pelatihan dan rekruitmen 10 anak terbaik di Indonesia untuk bergabung lewat program hear to heart atau program mendengar dengan hati. Meutia ikut program tersebut dan bersaing dengan 1000 pelamar yang sebagian besar anak normal. Meutia berhasil terpilih masuk 10 besar.
“Setelah bergabung dengan perusahaan properti dunia dan kontrak kerjanya selesai. Kini anak saya menjadi desain grafis di perpustakaan Kementerian Pendidikan Nasional. Dia melamar sendiri setelah membaca iklan di website kementerian. Saya, meski bekerja di Kemdikbud tidak diberi tahu. Yang membanggakan karya-karya design grafis anak saya itu mendapat apresiasi dari pak menteri,” kata Yeni yang saat ini menjabat sebagai Kasubdit Biro Kerjasama Luar Negeri Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
“Untuk semuanya itu saya bersyukur kepada Allah. Ternyata mendidik dan mendengar dengan hati berbuah berkah saya diberikan anakl-anak yang luar biasa,” tutup Yeni.

Komentar