Dagang


DAGANG (Bagian 1)

Sumber: IG @salimafillah

Hakikat perniagaan di negeri ini sering saya gambarkan dalam cerita tentang seorang pengusaha kecil yang memiliki produk, katakanlah keripik ubi. Untuk dapat masuk ke sebuah supermarket besar, produk ini harus melewati sekian uji-saring ketat, dari kualitas hingga kemasan. Dan akhirnya iapun diterima, terpampang agak tersembunyi di salah satu sudut raknya.

Tapi sistem pembayaran keripik ubi itu adalah konsinyasi; tiga bulan dipajang baru dihitung berapa yang laku. Laporan bisa diambil sekaligus sisa barang. Lalu pembayaran tunai baru akan diterima secepat-cepatnya sebulan kemudian.

Total empat bulan.

Tapi kalau si pemilik usaha amat kecil ubi ini pada saat menyetorkan dagangannya hendak beli beras atau gula di supermarket itu, bisakah ia minta dihitung nanti dari hasil dagangannya? Tidak. Dia harus membayar tunai. Saat itu juga.

Inilah tata ekonomi, di mana orang miskin membiayai orang kaya. Pemilik usaha kecil itulah yang menopang bisnis para pemodal besar supermarket.

Maka kita selalu bahagia pergi ke pasar tradisional, karena kita akan menemukan nilai-nilai yang amat mahal. Saking mahalnya, 500 orang terkaya di dunia versi Forbes bersekutupun takkan sanggup membelinya.

Tempo hari, terlihat di Pasar Prawirotaman Yogyakarta, seorang ibu penjual bawang merah dan putih yang asyik mengupasi sebagian dagangan yang sudah keriput kulitnya. Tak banyak yang disandingnya, hanya setampah kecil sahaja.

Lalu seorang lelaki yang lebih muda, sambil tersenyum ke sana kemari menjajakan pisang satu lirang saja, yang dilihat keadaannya memang hanya akan bagus kalau dimakan hari ini segera. Besok tidak.

Dan tetap asyik dengan pisaunya, sang ibu mendongak, lalu berkata dengan tawa ringan yang memamerkan giginya, "Tolong pisangnya gantungkan di cantelan motorku itu ya Dik, ini uangnya ambil ke sini."

"Ya Mbak, lima ribu saja buat Njenengan."

Maka ketika si Mas usai menaruh pisang itu, sang ibu menyumpalkan tiga uang lima ribuan ke tas plastik si Mas yang berisi jajanan ketika dia mendekat.

Semula lelaki itu tak menyadarinya, tapi setelah berjalan beberapa langkah dia kembali. "Weh, kebanyakan Mbak", katanya.

"Tidak apa-apa, buat jajan anakmu lho Dik. Lagipula pisang segini banyak ya ndak mungkin 5000 to."

"Ndak. Memang segitu harganya Mbak. Jajannya juga sudah ada kok ini." Lalu uang itu dikembalikannya. Tak mau kalah, Si Ibu segera menyusul Si Mas yang berlari. Memasukkan lagi uang lebihan 10.000 itu ke tas plastiknya. Si Mas tersenyum geleng-geleng kepala. Lalu dengan penuh kesopanan, dia pamit pergi.

Siang hari ketika si Ibu hendak pulang, seorang pedagang bakso menghampirinya. "Ini mbak, baksonya."

"Lho saya tidak pesan itu?"

"Lha tadi Mase penjual pisang yang memesankan itu. Terus dia bilang diracik sama ngasihkannya nanti saja kalau Njenengan mau pulang."

"O Allah... Rejeki. Sembah nuwun Gustiiii..."

Adakah engkau temukan di tempat belanjamu orang saling berrebut untuk membahagiakan sesamanya seperti ini? Ah, mungkin sesekali kau perlu pergi ke pasar yang kaulihat becek dan sumpek itu. Sebab di sana ada yang tak dapat kaubeli dengan harta, tapi dapat kaurasakan mengaliri hatimu dengan sejuta haru dan makna.

Hmm, besok ada cerita lagi insyaallah.

DAGANG (Bagian 2)
@salimafillah

Pernah makan cenil?

Itu makanan terbuat dari tepung kanji yang dimasak menjadi camilan kenyal seukuran ibu jari, dicomoti, dan tersaji warna-warni. Taburannya adalah kelapa parut yang dikukus bersama pandan wangi. Seperti lopis ketan yang memang sering ditawarkan bersamanya, kuah gula kental juga diguyurkan lengket-lengket di atasnya.

Nah, ini cerita tahun 1990-an ketika serombongan dosen dalam perjalanan melakukan penelitian di suatu pedesaan Yogyakarta.

Mereka berjumpa dengan seorang ibu tua penjual cenil keliling. Merasa agak sesat jalan, dengan gagah salah satu anggota rombongan turun dan bertanya tentang arah. Dengan ramah si ibu menjawab. Kala melihat dagangannya, tertariklah sang dosen bertanya, "Bu, jualan cenil begini sehari bisa dapat berapa?"

"Alhamdulillah Nak, kalau habis ya rata-rata bisa bawa pulang 50 ribu." Di zaman itu, nilai ini kecil juga, tapi lumayan.

"Kami beli semua ya Bu. Ini uangnya 100 ribu."

"E Allah, ya jangan semua to Nak. Ini saya masih keliling. Kasihan langganan lain yang siapa tahu menunggu-nunggu berharap saya lewat. Nanti kecewa, hehe... Nah sudah, dihitung saja, rombongannya ada berapa?"

"Ada 6 Bu. Tapi boleh ya kami beli banyak?"

"Lha rak tenan cuma enam. Lha kok mau beli banyak itu terus siapa nanti yang makan? Mubadzir malah dosa lho."

"Kami kuat makan banyak kok Bu. Kayaknya cenilnya enak sekali."

"E, ya ndak boleh berlebihan. Nanti kalau malah sakit perut bahkan diare bagaimana? Repot semua to? Sudah, ini saya bungkuskan 6 saja."

"Ini uangnya njih Bu", kata si dosen sambil tetap mengulurkan seratus ribuan.

"Lho, kalau 6 bungkus itu ya cuma 6 ribu. Saya ndak punya kembalian."

"Lho Bu, ini kami ikhlas. Tolong seratus ribunya diterima."

"Ya ndak bisa to Mas. Lha wong cenil kok seratus ribu hehe. Sudah kalau ndak punya uang kecil, dibawa saja cenilnya. Hadiah dari saya untuk Mas Guru-Mas Guru yang pinter-pinter, biar makin semangat mencerdaskan bangsa, seperti di tipi-tipi itu, hehe..."

"Kalau begitu, ibu ikut naik mobil kami ya, kami antar ke tempat jualannya."

"Saya itu kalau naik mobil itu pusing dan mual je, hehe... Sudah monggo dilanjutkan perjalannya. Yang penting dunga-dinunga, saling mendoakan. Sugeng tindak."

Duhai para jamhur sarjana, maka teori ekonomi manakah yang mampu menjelaskan perilaku dagang penjual cenil yang agung ini?

Komentar